1. Persediaan
Menurut
Ristono (2009) persediaan dapat diartikan sebagai barang-barang yang disimpan
untuk digunakan atau dijual pada masa atau periode yang akan datang. Persediaan
terdiri dari persediaan bahan baku, persediaan bahan setengah jadi dan
persediaan barang jadi. Persediaan bahan baku dan bahan setengah jadi disimpan
sebelum digunakan atau dimasukkan ke dalam proses produksi, sedangkan
persediaan barang jadi atau barang dagangan disimpan sebelum dijual atau
dipasarkan. Dengan demikian setiap perusahaan yang melakukan kegiatan usaha
umumnya memiliki persediaan.
Sedangkan
perusahaan perdagangan minimal memiliki satu jenis persediaan, yaitu persediaan
barang dagangan. Adanya berbagai macam persediaan ini menuntut pengusaha untuk
melakukan tindakan yang berbeda untuk masing-masing persediaan, dan ini akan
sangat terkait dengan permasalahan lain seperti masalah peramalan kebutuhan
bahan baku serta peramalan penjualan atau permintaan konsumen.
Tujuan
pengelolaan persediaan adalah sebagai berikut :
a. Untuk
dapat memenuhi kebutuhan atau permintaan konsumen dengan cepat (memuaskan
konsumen).
b. Untuk
menjaga kontinuitas produksi atau menjaga agar perusahaan tidak mengalami
kehabisan persediaan yang mengakibatkan terhentinya proses produksi, hal ini
dikarenakan alasan :
Ø Kemungkinan
barang (bahan baku dan penolong) menjadi langka sehingga sulit untuk diperoleh.
Ø Kemungkinan
supplier terlambat mengirimkan barang yang dipesan.
c. Untuk
mempertahankan dan bila mungkin meningkatkan penjualan dan laba perusahaan.
d. Menjaga
agar pembelian secara kecil-kecilan dapat dihindari, karena dapat mengakibatkan
biaya menjadi besar.
e. Menjaga
supaya penyimpanan dalam emplacement tidak besar-besaran, karena
mengakibatkan biaya menjadi besar.
Biaya
persediaan terdiri dari seluruh pengeluaran, baik yang langsung maupun yang
tidak langsung, yang berhubungan dengan pembelian, persiapan, dan penempatan
persediaan untuk dijual. Biaya persediaan bahan baku atau barang yang diperoleh
untuk dijual kembali, biaya termasuk harga pembelian ,pengiriman, penerimaan,
penyimpanan dan seluruh biaya yang terjadi sampai barang siap untuk dijual.
Persediaan biasanya merupakan
aktiva lancar terbesar dari suatu perusahaan, dan diperlukan pengukuran yang
tepat untuk menjamin laporan keuangan yang akurat. Jika
persediaan tidak dihitung secara tepat, pengeluaran dan penerimaan tidak dapat
dicocokkan secara benar. Jika persediaan akhir tidak benar, maka hasilnya
adalah saldo-saldo dari neraca berikut ini juga tidak akan benar: persediaan
barang dagangan, total aktiva, dan ekuitas pemilik modal. Ketika
persediaan akhir tidak benar, harga pokok penjualan barang dagangan dan laba
bersih juga akan tidak benar di dalam laporan laba rugi.
2. Metode Pencatatan Persediaan
2.1 Metode
Pisik/Periodik (Periodik/Phisical Inventory Sistem)
Sistem persediaan periodik memerlukan catatan
akuntansi untuk menunjukkan jumlah persediaan yang ada di tangan di setiap
waktu. Sistem ini menggunakan akun yang terpisah dalam buku besar
pembantu untuk masing-masing persediaan barang, dan akun tersebut diperbaharui
setiap kali kuantitasnya bertambah atau diambil keluar. Dalam sistem
persediaan periodik, penjualan dicatat saat penjualan tersebut terjadi tetapi
persediaannya tidak diperbaharui. Pemeriksaan persediaan fisik harus
dilakukan pada akhir tahun untuk menentukan harga pokok penjualan. Tanpa
melihat sistem akuntansi persediaan apa yang digunakan, adalah baik sekali
untuk melakukan pemeriksaan persediaan fisik sedikitnya sekali setahun.
Berikut ini disampaikan pedoman penyusunan jurnal:
Rekening
|
Debet
|
Kredit
|
Pembelian barang dagang secara
kredit/tunai
|
||
Pembelian
|
XXX
|
|
Utang
dagang/kas
|
XXX
|
|
Retur pembelian barang dagang
secara kredit/tunai
|
||
Utang
dagang/kas
|
XXX
|
|
Retur
pembelian
|
XXX
|
|
Penjualan barang barang dagang
secara kredit/tunai
|
||
Piutang
dagang/kas
|
XXX
|
|
Penjualan
|
XXX
|
|
(sebesar
harga jual)
|
||
Retur penjualan barang dagang
secara kredit/tunai
|
||
Retur
penjualan
|
XXX
|
|
Piutang
dagang/kas
|
XXX
|
|
(sebesar
harga jual)
|
Metode
persediaan periodik lebih sederhana dan lebih mudah penyelenggaraannya bila
dibandingkan dengan metode perpetual. Namun ditinjau dari segi ketepatan dan
kecepatan informasi yang dihasilkan, metode persediaan perpetual jauh lebih
unggul. Setiap saat persediaan akhir dapat diketahui.
Metode
ini sudah mulai ditinggalkan karena secara jelas tidak mendukung integrasi
sistem dimana, sepanjang peridode akuntansi berjalan tidak tersedia data
mengenai posisi persediaan. Hal ini menyebabkan data bagian akuntansi kurang
mendukung operasional. Laporan neraca dan rugi laba tidak akan dapat dibuat sebelum
nilai persediaan diketahui.
2.2 Metode
Perpetual (Continual Inventory Sistem)
Setiap jenis barang dibuatkan kartu
persediaan dan didalam pembukuan dibuatkan rekening pembantu persediaan.
Rincian dalam buku pembantu bisa diawasi dari rekening kontrol persediaan
barang dalam buku besar. Rekening yang digunakan untuk mencatat persediaan ini
terdiri dari beberapa kolom yang dapat dipakai untuk mencatat pembelian,
penjualan dan saldo persediaan. Setiap perubahan dalam persediaan diikuti
dengan pencatatan dalam rekening persediaan sehingga jumlah persediaan
sewaktu-waktu dapat diketahui dengan melihat kolom saldo dalam rekening
persediaan. Masing-masing kolom dirinci lagi untuk kuantitas dan harga
perolehannya. Penggunaan metode perpetual akan memudahkan penyusunan neraca dan
laporan laba rugi jangka pendek, karena tidak perlu lagi mengadakan perhitungan
fisik untuk mengetahui jumlah persediaan akhir.
Ciri-ciri terpenting dalam sistem
perpetual pada perjurnalan adalah :
a. Pembelian
barang dagangan dicatat dengan mendebet rekening persediaan
b. Harga
pokok penjualan dihitung untuk tiap transaksi penjualan dan dicatat dengan
mendebet rekening HPP pada persediaan.
c. Persediaan
merupakan rekening kontrol dan dilengkapi dengan buku pembantu persediaan yang
berisi catatan untuk setiap jenis persediaan. Buku pembantu persediaan
menunjukkan keuantitas dan harga perolehan untuk setiap jenis barang yang ada
dalam persediaan.
Berikut ini disampaikan
pedoman penyusunan jurnal:
Rekening
|
Debet
|
Kredit
|
Pembelian barang
dagang secara kredit/tunai
|
||
Persed. barang dagang
|
XXX
|
|
Utang
dagang/kas
|
XXX
|
|
Retur pembelian
barang dagang secara kredit/tunai
|
||
Utang dagang/kas
|
XXX
|
|
Persed. barang dagang
|
XXX
|
|
Penjualan barang
dagang secara kredit/tunai
|
||
Piutang dagang/kas
|
XXX
|
|
Penjualan
|
XXX
|
|
(sebesar harga jual)
|
||
Harga pokok penjualan
|
XXX
|
|
Persed. barang dagang
|
XXX
|
|
(sebesar harga pokok)
|
||
Retur penjualan
barang dagang secara kredit/tunai
|
||
Retur penjualan
|
XXX
|
|
Piutang dagang/kas
|
XXX
|
|
(sebesar harga jual)
|
||
Persed. barang dagang
|
XXX
|
|
Harga pokok penjualan
|
XXX
|
|
(sebesar harga pokok)
|
Dengan
demikian pada saat penyusunan laporan keuangan tidak diperlukan ayat jurnal
penyesuaian. Pencatatan transaksi ke dalam perkiraan persediaan, adalah
berdasarkan harga pokok produksi, baik transaksi pembelian maupun penjualan.
Metode ini akan menampilkan dapat menyediakan laporan neraca setiap saat baik
untuk diprint out maupun secara visual. Walaupun sistem perpetual menyediakan
data persediaan secara terus menerus namun tetap diperlukan perhitungan fisik
yang berfungsi untuk mencocokan fisik dengan catatan buku.
3. Metode
Penilaian Persediaan
3.1 Metode
Masuk Pertama Keluar Pertama (MPKP/FIFO)
FIFO merupakan singkatan dari First
in first out atau dalam bahasa Indonesia Pertama masuk pertama keluar
yang berarti bahwa barang pertama yang dibeli adalah barang pertama yang
digunakan (dalam perusahaan manufaktur atau dijual dalam perusahaan dagang),
karena itu, persedian yang tersedia merupakan barang yang dibeli paling
terakhir. Hal ini terutama untuk barang yang tidak tahan lama dan produk-produk
yang modelnya cepat berubah. Jadi metode FIFO dapat dikatakan konsisten dengan
arus fisik atau pergerakan barang dagang. Sejauh ini hal ini benar, metode FIFO
memberikan hasl-hasil yang sama dengan yang diperoleh melalui identifikasi
biaya khusus setiap item yang dijual dan ada dalam persediaan. Dengan
menggunakan metode FIFO, biaya dimasukkan dalam harga pokok penjualan sesuai
dengan urutan terjadinya.
Kelebihan
Metode MPKP/FIFO:
a.
Menghasilkan harga pokok penjualan yang rendah
b.
Menghasilkan laba kotor yang tinggi
c.
Menghasilkan persediaan akhir yang tinggi
Selama periode inflasi atau kenaikan harga, penggunaan FIFO akan mengakibatkan hal ini, tapi dalam kondisi ekonomi turun, terjadi kebalikannya.
Selama periode inflasi atau kenaikan harga, penggunaan FIFO akan mengakibatkan hal ini, tapi dalam kondisi ekonomi turun, terjadi kebalikannya.
Ada dua sistem pencatatan tentang barang
dagang yaitu (1) sistem pencatatan periodik dan (2) sistem pencatatan terus
menerus. Pada kesempatan ini, kami sajikan perbedaan metode FIFO dengan sisrem
pencatatan secara periodik dengan sistem pencatatan secara terus menerus.
Untuk memudahkan pemahamannya, kami sajikan data satu jenis barang dagang berikut ini:
Untuk memudahkan pemahamannya, kami sajikan data satu jenis barang dagang berikut ini:
Saldo awal dan pembelian
1/1 Saldo awal 20 buah@Rp 250,00 =
Rp 5.000,00
25/1 Pembelian 15 buah@Rp 260,00 =
Rp 3.907,50
3/4 Pembelian 30 buah@Rp 265,00 =
Rp 7.950,00
15/8 Pembelian 25 buah@Rp 274,00 =
Rp 6.850,00
11/12 Pembelian 20
buah@Rp 275,50 = Rp 5.510,00
Jumlah 110 buah Rp 29.217,50
Penjualan
10/2 Penjualan 30 buah@Rp 300,00 =
Rp 9.000,00
5/4 Penjualan 25 buah@Rp 300,00 =
Rp 7.500,00
12/12 Penjualan 30
buah@Rp 300,00 = Rp 9.000,00
Jumlah 85 buah Rp
25.500,00
Sistem Pencatatan
Secara Periodik
Sistem Pencatatan
Secara Terus Menerus
3.2 Metode
Masuk Terakhir Keluar Pertama (MTKP/LIFO)
LIFO
merupakan singkatan dari Last in first out atau dalam bahasa Indonesia, Terakhir
masuk pertama keluar yang berarti bahwa persediaan yang terakhir masuk
adalah barang yang pertama kali dicatat sebagai barang yang dijual. Produk yang
kualitasnya semakin lama disimpan maka semakin bagus, tentu akan cocok
menggunakn metode ini.
Kelebihan
metode MTKP/LIFO:
a.
Menghasilkan harga pokok penjualan yang tinggi
b.
Menghasilkan laba kotor yang rendah
c.
Menghasilkan persediaan akhir yang rendah
Ada dua sistem
pencatatan tentang barang dagang yaitu (1) sistem pencatatan periodik dan (2)
sistem pencatatan terus menerus.
a.
Sistem Pencatatan
Periodik
Adalah penilaian persediaan yang
ditentukan dengan cara saldo periodic yang ada dikalikan harga pokok per unit
barang yang masuk pada awal periode. Bila saldo periodic terlalu besar dari
barang yang masuk pada awal periode, diambilkan dari harga pokok per unit yang
masuk berikutnya.
b.
Sistem Pencatatan
Terus Menerus
Adalah suatu metode penilaian
persediaan yang pencatatan persediaannya dilakukan secara terus-menerus dalam
kartu persediaan. HPP dicatat berdasarkan harga pokok pertama kali masuk.
Jumlah yang masih tersisa merupakan nilai persediaan akhir. Dalam periode
inflasi metode LIFO akan menghasilkan kemungkinan laba bersih terendah.
Alasannya karena harga pokok barang yang diperoleh terakhir akan mendekati
nilai ganti barang yang dijual. Bila dibandingkan dengan metode FIFO ataupun
metode rata-rata dalam periode deflasi, pengaruh yang terjadi adalah
kebalikannya.
Untuk memudahkan
pemahamannya, kami sajikan data satu jenis barang dagang berikut ini:
PT.BARUGA
memiliki data bulan Maret 2005 mengenai barang dagangan berupa mesin cuci
merek Toshiba sbb:
Tanggal Pembelian Penjualan Saldo
25/3 8.000 8.000
Sistem Pencatatan Terus Menerus
Tgl
|
Pembelian
|
Penjualan
|
Saldo
|
||||||
Unit
|
Har-ga
|
Total
|
Unit
|
Har-ga
|
Total
|
Unit
|
Har-ga
|
Total
|
|
2/3
|
4.000
|
Rp 10
|
Rp 40.000
|
4.000
|
Rp 10
|
Rp 40.000
|
|||
12/3
|
12.000
|
Rp 11
|
Rp 132.000
|
4.000
|
Rp 10
|
||||
12.000
|
Rp 11
|
Rp 172.000
|
|||||||
25/3
|
8.000
|
Rp 11
|
Rp 88.000
|
4.000
|
Rp 10
|
||||
4.000
|
Rp 11
|
Rp 84.000
|
|||||||
29/3
|
4.000
|
Rp 11,5
|
Rp 46.000
|
4.000
|
Rp 10
|
||||
4.000
|
Rp 11
|
||||||||
4.000
|
Rp 11,5
|
Rp 130.000
|
Jadi
persediaan akhir adalah = Rp 130.000
Harga
Pokok penjualan = Rp 88.000 ( Rp 8.000 x Rp 11)
Sistem Pencatatan Periodik
Persediaan
awal = 0 unit
Pembelian
selama bulan maret = 20.000 unit
Tersedia
dijual =
20.000 unit
Penjualan
Selma bulan maret = 8.000 unit
Persediaan
akhir = 12.000 unit
Dari
pembelian 2/3 : 4.000 unit x Rp 10 = Rp 40.000
Dari
pembelian 12/3 : 8,000 unit x Rp 11 = Rp 88.000
12.000
unit
= Rp128.000
Dengan
demikian antara LIFO perpetual dengan LIFO periodik terdapat perbedaan sebesar
= Rp 130.000 – Rp 128.000 = Rp 2.000
3.3 Metode
Rata-Rata Tertimbang
Ikatan Akuntan Indonesia
(2007:14.21) merumuskan biaya rata-rata tertimbang, biaya setiap barang
ditentukan berdasarkan biaya rata-ratatertimbang dari barang serupa pada awal
periode dan biaya barang serupa yang dibeli atau diproduksi selama periode.
Perhitungan rata-rata dapat dilakukan secara berkala atau pada setiap penerimaan
kiriman, bergantung pada keadaan perusahaan.
Asumsi metode ini adalah unit dijual
tanpa memperhatikan urutan pembeliaannya dan menghitung harga pokok penjualan
serta persediaan akhir. Untuk memudahkan pemahamannya perhatikan contoh dibawah
ini:
Barang Tersedia
|
Per Unit
|
|||
1 Jan
|
Pembelian
|
200
|
$ 1
|
$200
|
9 Jan
|
Pembelian
|
300
|
$ 1,1
|
300
|
15 Jan
|
Pembelian
|
400
|
$ 1,16
|
464
|
24 Jan
|
Pembelian
|
100
|
$ 1,12
|
126
|
Total
Tersedia
|
1.000
|
1.120
|
||
Persediaan
akhir rata-rata tertimbang
|
||||
31 Jan
|
300
|
1,12
|
336
|
|
HPP Rata-rata
tertimbang
|
||||
Penjualan
selama Januari
|
700
|
1,12
|
784
|
|
Unit biaya
rata-rata tertimbang (1.120 / 1000 = 1.12)
|
3.4 Metode Rata-Rata Terus-Menerus /
Rata-Rata Bergerak
Metode rata-rata digunakan dalam sistem
persediaan perpetual, biaya rata-rata per unit untuk masing-masing item
dihitung setiap kali pembelian dilakukan. Biaya rata-rata per unit dihitung
dengan cara menjumlahkan unit yang dibeli dengan unit saldo, dan total biaya
pembelian dengan total biaya saldo. Pengrata-rataan ini dinamakan dnegan
rata-rata bergerak. Cara lain untuk mendapatkan biaya rata-rata per unit tentu
bisa dilakukan, asal saja cara perhitungannya dilakukan dengan konsisten.
Contoh :
1 Mei Persediaan 120 unit @ 54.000 = Rp 6.480.000,-
5 Pembelian 180 unit @ 60.000 = Rp 10.800.000,-
10 Penjualan 200 unit
16 pembelian
200 unit @ 63.000 = Rp 12.600.000,-
20 Pembelian 120 unit @ 64.000 = Rp 7.680.000,-
26 Penjualan
280 unit
Perhitungan Persediaan metode rata-rata (Average)
menggunakan Kartu Persediaan
PT. ABC
|
|||||||||||
KARTU
PERSEDIAAN
|
Jenis Barang : XX
Satuan
: Unit
Metode
: Average
|
||||||||||
Masuk
|
Keluar
|
Saldo
|
|||||||||
Tgl
|
No. Bkt
|
Unit
|
HP (Rp)
|
Jumlah
|
Unit
|
HP (Rp)
|
Jumlah
|
Unit
|
HP (Rp)
|
Jumlah
|
|
2004
|
|||||||||||
Mei.1
|
Sld
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
120
|
54.000
|
6.480.000
|
|
5
|
180
|
60.000
|
10.800.000
|
-
|
-
|
-
|
300
|
57.600
|
17.280.000
|
||
10
|
-
|
-
|
-
|
200
|
57.600
|
11.520.000
|
100
|
57.600
|
5.760.000
|
||
16
|
200
|
63.000
|
12.600.000
|
-
|
-
|
-
|
300
|
61.200
|
18.360.000
|
||
20
|
120
|
64.000
|
7.680.000
|
-
|
-
|
-
|
420
|
62.000
|
26.040.000
|
||
26
|
-
|
-
|
-
|
280
|
62.00
|
17.360.000
|
140
|
62.000
|
8.680.000
|
||
31
|
sld
|
500
|
-
|
31.080.000
|
480
|
-
|
28.880.000
|
140
|
62.000
|
8.680.000
|
|
Dari data di atas dapat kita ambil kesimpulan
bahwa:
Persediaan awal periode 120 unit Rp 6.480.000,00
Total Pembelian selama bulan mei 500 unit Rp 31.080.000,00
Total Barang Tersedia untuk dijual 620 unit Rp
37.560.000,00
Total HPP selama bulan mei (480 unit) (Rp 28.880.000,00)
Saldo Persediaan akhir periode 140 unit Rp 8.680.000,00
3.5 Metode Identifikasi Khusus
Metode identifikasi khusus (specific
identification). Metode ini adalah metode yang paling sempurna dalam menentukan
berapa nilai persediaan yang ada karena setiap unit barang yang dibeli,
digunakan, dan yang tersisa diidentifikasikan secara khusus berikut harga
belinya.
Metode ini umumnya digunakan pada
perusahaan dagang. Produk yang dijual adalah produk yang memiliki identifikasi
khusus. Contohnya adalah perusahaan penjualan perhiasan, penjual mobil bekas,
dan lainnya. Jadi, umumnya secara kuantitas produknya tidak banyak dan
masing-masing unit memiliki nilai signifikan.
Kelemahan mendasar dari metode ini
terlihat ketika jenis barang yang disimpan sebagai persediaan adalah barang
yang identik dan dapat dipertukarkan serta dalam kuantitas yang banyak. Sebagai
ilustrasi, dibayangkan bagaimana pemakaian metode ini pada perusahaan dagang
gula. Pembelian gula dilakukan beberapa kali dalam frekuensi yang tinggi dan
tidak selalu dengan harga yang sama. Demikian juga dengan penjualannya.
Pembelian dan penjualan tidak selalu
dalam kuantitas yang sama sehingga muncul persediaan yang bisa berasal dari
beberapa harga pembelian. Padahal secara fisik persediaan gula tidak dapat
dibedakan asalnya berdasarkan harga beli. Akibatnya tentu sangat sulit
mengidentifikasikan barang tersebut karena gula dalam karung identik dan dapat
tertukar dalam proses penyimpanan maupun pengambilannya.
Contoh:
Terdapat
persediaan akhir barang AB sebanyak 7500 kg yang terdiri atas 75 karung @
100kg. Tanda pengenal khusus:
40 Karung
tanda pengenal khusus Rp
2.800.000
30 Karung
tanda pengenal khusus Rp
2.600.000
5 Karung
tanda pengenal khusus Rp
2.400.0000
40 x Rp 2.800.000 =
Rp 112.000.000
30 x Rp 2.600.000 =
Rp 78.000.000
5 x Rp 2.400.000 =
Rp 12.000.000
Total persediaan akhir Rp
202.000.000
3.6 Metode Rata-Rata Sederhana
Penentuan harga rata-rata dalam metode
ini dilaksanakan secara sederhana dengan menentukan harga rata-rata per unit
menurut frekuensi pembeliannya tanpa memperhatikan kuantitas dari tiap-tiap
pembelian. Untuk memperoleh nilai sediaan, perhitungannya menggunakan sediaan
yang ada dikali harga rata-rata yang diperoleh. Berikut ini caranya :
Nilai
Persediaan = Jumlah Persediaan x Harga Rata-rata
Contoh
:
Total
harga per satuan tiap transaksi
pembelian termasuk awal periode. Jumlah transaksi pembelian termasuk persediaan
awal periode
Nilai
persediaan barang pada tanggal 30 November 2010, yaitu: 25000x2035,71 = Rp
20.892.750,00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar